Bahasa Indonésia yang Berdiakritik

// 07/10/2024 — Sekiranya observasi saya tentang penggunaan tanda diakritik.


Akhir-akhir ini, saya kembali tertarik dengan apa yang namanya spelling reform dan konvensi ejaan alternatif.

Dalam bahasa Inggris, — yang merupakan bahasa yang tidak memiliki governing body — terdapat banyak iregularitas pada ejaannya, sehingga sejak dulu sudah ada beberapa usaha untuk memperbaiki ejaannya. Contoh yang paling terkenal adalah reformasi yang dibuat oleh Noah Webster.

Saya melihat untuk bahasa Indonesia, reformasi ejaannya hanya dibuat dan dipelihara oleh pemerintah saja. Juga saya belum menemukan konvensi alternatif untuk penulisan ejaan bahasa Indonesia. Jadi kira-kira kalau ada konvensi ejaan dari non-pemerintah, bakal dalam aspek apa?

Saya menemukan sebuah sistem ejaan terkonstruksi yang dinamai "Díacritically Regülarízed Ênglish", sebuah sistem ejaan buatan Alan Beale yang menggabungkan sistem ejaan "Regularized English" buatan Axel Wijk dan sistem ejaan "Simplified ReSpell" buatan Bob Boden, yang di mana mengganti bagaimana kata-kata dalam bahasa Inggris dieja agar mirip dengan cara pelafalannya dan terlebih penting, menambahkan diakritik pada ejaan bahasa Inggris.

Jadi kepikiran dong, kalau bahasa Indonesia menggunakan diakritik akan seperti apa? :)

Sejarah singkat diakritik dalam tulisan bahasa Indonesia

Sebenarnya, pada masa-masa ejaan van Ophuijsen digunakan, bahasa Indonesia (yang saat itu masih disebut bahasa Melayu) sempat menggunakan diakritik.

Contohnya ada pada Wasiat jang lama, ija-itoe segala kitab perdjandjian lama ataw kitab torat dan zaboer dan nabi-nabi (1979), sebuah terjemahan atas kitab perjanjian lama ke bahasa Melayu, dan juga Wasiat jang beharoe, ija-itoe segala kitab perdjandjian beharoe ataw indjil toehan kami isa almasih (1902), sebuah terjemahan atas kitab perjanjian baru ke bahasa Melayu. Keduanya diterjemahkan oleh Hillebrandus Cornelius Klinkert, seorang misioner menonit dari Belanda.

Di dalamnya terdapat frekuensi penggunaan yang tinggi atas huruf berdiakritik ĕ untuk pelafalan [ə]. Juga ditemukan underdot, diareses, acute, dan macron pada ejaan nama orang.

Ada juga Kitab Perdjandjian Baharu (1952) yang dikeluarkan oleh Perserikatan Kerjasama Penerbit dan Penyebar Alkitab, menggunakan é untuk pelafalan [e], e untuk pelafalan [ə], dan lagi beberapa diareses pada ejaan nama orang.

Kemudian ada majalah Keboedajaän dan Masjarakat (1939) yang banyak orang ketahui, terdapat tanda diareses.

Majalah Keboedajaän dan Masjarakat (1939)

Oleh Abdoel Salam - https://dgi.or.id/, Domain Publik, https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=73988056

Sayangnya, hanya beberapa yang saya temukan (setidaknya yang melalui internet) bisa menjadi contoh untuk karya yang masih menggunakan diakritik.

Hah apa???

Mungkin ada baiknya saya sajikan definisi dan beberapa terminologi yang berkaitan dengan tema diakritik ini, lewati saja bagian ini apabila anda sudah mengerti :)

Okayyy, menurut entrinya di KBBI VI Daring...

di.a.kri.tik
n tanda tambahan pada huruf yang sedikit banyak mengubah nilai fonetis huruf itu, misalnya tanda [´] pada é

Sederhananya, apabila ada tanda di atas suatu huruf, maka pelafalannya akan berbeda dari pelafalan umumnya.
Beberapa yang digunakan:

Terdapat juga penggunaan International Phonetic Alphabet, di antara lain:

Untuk selengkap-lengkapnya, bisa mengunjungi laman Wikipedianya tentang Diakritik (en) dan IPA (id) dan silahkan tonton beberapa dari sekian banyaknya vidio tentang diakritik :)

Untuk apa?

Kalau menurut saya, yang paling utama ya untuk menghidari ambiguitas makna dan pelafakan sebuah kata.

Kita lihat contoh umumnya:

Omong-omong, di atas merupakan apa yang disebut dengan Homograf.

Ada juga pelafalan yang berbeda untuk huruf vokal O seperti pada kata toko dan tokoh. Bahkan huruf-huruf konsonan seperti H, K, P, dan T memiliki pelafalan yang berbeda-beda.

Tentunya ambiguitas bisa saja dengan mudah diselesaikan hanya dengan melihat konteks di mana kata-kata tersebut diletakkan. Dalam kata lain, tidak mungkin kita membicarakan sesuatu seperti "mengadakan buah merah bulat besok Senin", tentunya yang dimaksud adalah "mengadakan perkumpulan besok Senin".

Tetapi lihatlah gambaran yang lebih besar, kata-kata seperti "ide" dan "esa" sering kali salah dilafalkan oleh penutur asli bahasa Indonesia, bayangkan apabila yang mencoba melafalkan adalah penutur asing.

Untuk sekarang, diakritik hanya sering digunakan pada kamus, itu pun cakupannya belum terlalu luas. Bisa dilihat contoh beberapa penggunaannya pada Kamus Sabda, misalnya pada entri indonesia dan teknologi.

PUEBI dan EYD V

Yang membuat saya sangat terheran-heran adalah mengapa pada PUEBI terdapat contoh untuk pelafalan huruf é, è, dan e (ê) sedangkan pada EYD V hanya terdapat contoh untuk pelafalan huruf é, dan e (ê)?

Aneh lagi, karena terdapat catatan pada PUEBI yang berbunyi:

PUEBI 2015 menambahkan informasi pelafalan diakritik é (taling terbuka), è (taling tertutup), dan ê (pepet). Pedoman ejaan sebelumnya hanya mencantumkan tanda aksen (′).

sedangkan pada EYD V:

Untuk membedakan pengucapan, pada huruf e pepet dapat diberikan tanda diakritik (ê) yang dilafalkan [ə].

Mengapa EYD V hanya mengafirmasikan penggunaan diakritik ê (e pepet) saja?

Apakah Tanda Hubung dan Apostrof Merupakan Diakritik?

Sekarang dalam KBBI, kata yang semulanya adalah "Alquran" dan "Kakbah", kini menjadi "Al-Qur'an" dan "Ka'bah". Begitu pula penamaan surat-surat, seperti At-Takasur, Al-Kafirun, dan lain-lain.

Tentunya yang saya maksud dengan "tanda hubung dan apostrof sebagai diakritik" adalah ketika digunakan dalam bentuk utuh suatu kata.

Tanda hubung di sini menunjukan bahwa "Al" dan "Qur'an" merupakan 2 kata yang apabila digabungkan akan membentuk 1 kata.

Sedangkan tanda apostrof di sini berfungsi layaknya diaresis, melepas "an" dari "Quran" sehingga tidak dibaca terhubung seperti "an" pada "koran".

Omong-omong, saya temukan aneh bahwa kata "alkitab" tidaklah berubah menjadi "al-kitab" mengingat adanya "al" pada awalan kata.

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa

Sebuah keping kecil dari diri saya, saya bukan penutur asli bahasa Jawa namun kebetulan saya tinggal di Jawa, Jawa Tengah spesifiknya. Tentunya ketika saya berinteraksi dengan orang Jawa secara daring, menggunakan huruf latin untuk berkomunikasi, ga lucu dong ada berbalas pesan menggunakan aksara Jawa :)

Menulis bahasa Jawa dengan huruf latin bisa dibilang gampang-gampang susahlah, tidak jarang saya salah menangkap suatu percakapan karena keterbatasan kosakata bahasa Jawa saya, apalagi aksen dan cara pengucapan saya yang sangat bisa dilihat.

Mungkin contohnya pada pelafalan loro (sakit) dan loro (dua).

Konggres Bahasa Jawa menetapkan Ejaan Bahasa Jawa dalam Tulisan Latin yang di mana terdapat bagian mengenai pelafalan huruf, salah satunya adalah tentang penggunaan diakritik. Diterangkan bahwa, diakritik dapat digunakan untuk tulisan yang berkaitan dengan hal-hal akademis, seperti kamus, ensiklopedia, buku pelajaran, dan lain-lain.

Saya sendiri menggunakan diakritik ketika berbalas pesan dengan daring walaupun sering kali lawan bicara mengabaikan penggunaannya, bahkan terkadang ada yang bingung mengapa ada garis-garis kecil di atas ketikan saya :D

Pengädopsian Kembali Tanda Diakritik dalam Bahasa Indonésia

Saya ingin coba, bagaimana kelihatannya bahasa Indonésia tertulis apabila menggunakan diakritik :)

Kalau dipikir kembali, simplifikasi éjaänlah yang secara tidak langsung menghilangkan penggunaän diakritik dalam bahasa Indonésia. Ada hubungan antara réformasi éjaän dari éjaän van Ophuijsen ke éjaän Suwandi dengan téknologi di bidang percetakan yang pada saät itu memiliki limitasi.

Untuk zaman sekarang, apabila entah bagaimana diakritik kembali diädopsi, pengäplikasiannya dalam bidang téknologi seharusnya tidak memunculkan masalah yang signifikan, setidaknya dalam kacamata saya sebagai seörang programmer ya.

Sepertinya tantangan terbesarnya ada pada bidang pendidikan, yang di mana otomatis kurikulum pendidikan bahasa harus disesuaikan untuk mencakupi pengalihan sistem éjaän yang baru. Tapi tentunya bisa dimulai dengan perlahan-lahan, ya mungkin untuk BIPA terlebih dahulu, lalu masuk ke ranah penggunaan kasual.

Well, its been fun, saya jujur menghabiskan waktu kurang lebih 1 minggu dalam menulis ini. Kemungkinan (besar) masih banyak kesalahan di dalamnya, saya bukan ahli bahasa atau semacamnya, jadi silahkan hubungi saya jika serasa masih ada hal yang kurang.

<3


Rujukan